Kamis, 05 November 2009

akuntansi keuangan

Senin, 14 April 2008
Babak Baru Kasus Dana BI
Kategori: Artikel (2876 kali dibaca)
Babak Baru Kasus Dana BI

Belum beres kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) senilai 31,5 miliar ke anggota DPR periode 199-2004 diselesaikan, kini muncul kasus korupsi dana BI jilid II. Disebutkan bahwa bank sentral ini mengucurkan dana Rp 2,3 miliar kepada Komisi Perbankan DPR. Dana itu digunakan untuk berbagai kegiatan komisi, seperti kunjungan kerja dan bantuan apresiasi dalam rangka deseminasi anggaran operasional BI 2007, biaya silaturahmi dan acara buka puasa.

Selain itu, BI diduga memberi uang saku pada empat anggota Badan Legislasi DPR saat berkunjung ke London dan New York pada 3-12 Maret 2007. Besarnya dana untuk uang saku itu US$ 13.960 atau Rp 130 juta. Setiap anggota DPR mendapatkan US$ 3.490 dan Rp1 juta. Kabar baru itu tentu menyentak kita, sebegitu bagusnya BI telah menservis anggota dewan.

Kasus aliran dana BI jilid II ini, sudah pasti harus segera ditindaklanjuti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang serius menuntaskan kasus dugaan aliran dana BI sebelumnya yang melibatkan sejumlah anggota DPR. Pengungkapan kasus korupsi pertama itu kini telah berkembang, tidak hanya terbatas memeriksa sumber dana dan prosesnya. ”Ada kemungkinan kami teruskan yang lain,” jelas Ketua KPK Antasari Azhar. Ia memastikan tindak lanjut kasus dana BI berikutnya menunggu hasil evaluasi terakhir.

Sebelumnya KPK telah menetapkan tiga tersangka pejabat BI. Mereka adalah Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, Kepala BI Surabaya Rusli Simanjuntak, dan Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong. Ketiganya diduga terlibat dalam proses aliran dana BI Rp 31,5 miliar yang disalurkan ke sejumlah anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004. Berkas perkara itu sudah hampir selesai dan akan segera dilimpahkan ke pengadilan.

Tidak hanya mereka. Pimpinan KPK dalam jumpa pers di Jakarta pada akhir Januari 2008, menyebut penerima dana BI dari DPR itu berinisial AZA dan HY. AZA, inisial dari Antony Zeidra Abdidin, anggota Subkomisi Perbankan Komisi IX DPR periode 1999-2004. Saat ini, Antony menjabat sebagai Wakil Gubernur Jambi. Sedangkan, HY adalah inisial dari Hamka Yamdu, politisi dari Partai Golkar yang saat ini masih aktif di Komisi IX DPR RI.

Dengan demikian, dalam proses penyidikan terhadap kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota Dewan, jumlah tersangka kemungkinan besar bertambah. Karena dari penyidikan terhadap dua anggota dewan tersebut dapat membuka keterlibatan anggota dewan lainnya. Badan Kehormatan DPR sudah memberikan 16 nama anggota DPR yang diduga menerima dana BI. Nama tersebut diambil dari laporan Aliansi Penegak Citra Parlemen.

Sayangnya mantan/anggota DPR yang menerima dana BI, sampai tulisan ini diturunkan, belum satupun yang ditetapkan sebagai tersangka. Sejumlah kalangan meragukan keberanian KPK menetapkan tersangka dari anggota DPR karena kuatnya tekanan politis.

Seperti diketahui, kasus ini terungkap setelah BPK mengaudit BI pada 2006. Ketua BPK Anwar Nasution melaporkan temuan itu ke KPK pada akhir 2006. Laporan itu membeberkan penyimpangan terhadap pemberian bantuan hukum pada pejabat dan mantan pejabat BI. Sebab dana yang dikeluarkan untuk itu mencapai lebih dari Rp 68,5 miliar. Versi ICW, jumlahnya mencapai Rp 71,5 hingga 100 miliar. Setahun kemudian, KPK baru mengusut.

Sejauh ini, para tersangka dari BI beralasan bahwa uang yang diambil dari YPPI itu untuk kepentingan diseminasi. Selain itu, aliran dana bantuan hukum untuk bekas pejabat Bank Indonesia Rp 68 miliar, menurut Burhanuddin, merupakan keputusan bersama pimpinan BI. Karena itu, pertanggungjawabannya seharusnya tak hanya dibebankan pada Gubernur BI, tetapi juga oleh anggota Dewan Gubernur BI lain yang ikut menandatangani keputusan itu. Dengan demikian, seharusnya semua anggota Dewan Gubernur yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut ditetapkan status yang sama.

Mereka yang patut dijadikan tersangka adalah ketua pembina dan wakil ketua Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Keduanya juga menjadi anggota Dewan Gubernur BI saat itu, yaitu Aulia Pohan dan Maman Husein Soemantri. Kalau mereka tidak diusut, KPK akan dinilai masih tetap melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi.

Penetapan Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka, menimbulkan kontraversi. Ada yang mencurigai proses hukum itu sebagai alat politik untuk menyingkirkan atau memuluskan figur tertentu karena tahun ini pemilihan Gubernur BI dilangsungkan. Apalagi masa tugas Burhanuddin sebagai Gubernur BI akan berakhir pada 17 Mei 2008. Dengan menjadi tersangka, kesempatan Burhanuddin sebagai calon gubernur BI periode 2008-2013 akan terganggu. Terbukti saat ini Boediono adalah calon terkuat dari pemerintah untuk jabatan Gubernur BI.

Belum lama ini bahkan muncul isu adanya pertemuan segitiga untuk gagalkan skandal Bank Indonesia. Pertemuan segitiga yang dihadiri wakil dari DPR, Istana, dan Bank Indonesia (BI) itu digelar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada 6 Februari 2008 lalu. Namun, belum diketahui persis siapa saja yang ikut dalam pertemuan itu. Informasi yang beredar, dari istana diwakili oleh salah seorang pejabat. Sementara dari BI, diwakili sejumlah pejabat yang tidak terkait dengan aliran dana BI ke anggota DPR dan para aparat hukum itu. Sementara dari DPR diwakili sejumlah anggota DPR dari sejumlah partai politik.

Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dikorbankan untuk menjadi tersangka. Nama lain yang menyerempet kekuasaan direkomendasikan untuk tidak menjadi tersangka, termasuk Aulia Pohan yang kini menjadi besan SBY dan Anwar Nasution yang sekarang menjabat Ketua BPK. Keduanya sudah diperiksa oleh KPK.

Terlepas dari tudingan dan isu itu, keputusan KPK menetapkan tersangka, harus kita dukung. Minimal ada kemajuan dari kasus aliran dana BI tersebut. Penetapan Gubernur BI sebagai tersangka meski konsekuensinya dapat memberikan dampak buruk bagi citra bank sentral itu. Namun, hal itu pun akan mendorong BI memperbaiki akuntabilitas publiknya. Lembaga ini nanti diharapkan akan lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran, serta tidak memanjakan anggota DPR dengan berbagai servis dan suap.

Rabu, 04 November 2009

Kapolri Bentuk Tim Redam Teror Terhadap Antasari

Sigit Haryo Wibisono pernah menggelontorkan uang Rp200 juta pada tim yang dibentuk Kapolri. Tim dipimpin Kombes Chairul Anwar, Kapolres Jakarta Selatan. Sejumlah uang tersebut diberikan sebagai dana operasional untuk menghentikan teror dan pemerasan Nasrudin Zulkarnaen Iskandar ditunjukan kepada Antasari Azhar, Ketua KPK dan Keluarganya.

Hal itu terungkap saat Sigit memberikan keterangan sebagai saksi dalam kasus sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana Nasrudin Zulkarnaen Iskandar melibatkan terdakwa Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (5/11).

Uang sejumlah itu, kata majelis hakim sangat banyak. Kenapa Saudara
mau memberikan uang sebanyak itu padahal untuk kepentingan terdakwa?

“Ya Kak Hakim, saya ikhlas saja bantu,”tandasnya. Tugas ketua tim,
kata saksi untuk mengidentifikasi sejumlah teror. Menurut Sigit, tim tersebut bekerja sekitar 2 bulan lamanya. Selama tim bekerja saksi dan terdakwa memperoleh sejumlah laporan , antara lain tentang penggerebekan korban dengan Rani, memperoleh sejumlah foto dan dari si peneror.

Namun, Antasari kata Sigit, merasa tidak puas atas hasil
diperoleh tim tersebut. Buktinya, teror maupun ancaman terhadap Antasari dan keluarganya tidak reda , malah bertambah. Karenanya, kata saksi Pak Antasari menginginkan perlu tindakan kongkrit guna merendam teror tersebut.

Dalam pertemuan di ruang kerja rumah saksi di Jalan Pati Unus
dihadiri saksi Kombes Wiliardi Wizar, Antasari, kata saksi menyerahkan amplop warna coklat berisi sejumlah data alamat rumah dan foto Nasrudin pada Wiliardi. “Foto-foto dan identitas korban berasal dari hasil kerja tim yang dibentuk Kapolri,”jelasnya.

Guna melaksanakan kegiatan itu, kata saksi, Wiliardi mengusulkan dana opersional sebesar Rp500 juta. Tapi, kata saksi dana sebesar itu sangat besar. Antasari minta Sigit menalangi uang tersebut dan nanti diganti. “Uang tersebut untuk dana pengamanan dan bantuan anak Wiliardi yang sekolah di Australia,”katanya.

Uang pinjaman tersebut,katanya uang pinjaman ada jaminan cek tunai dari Wiliardi. Sigit katanya juga membantu Rp30 juta pada Wiliardi saat orang tuannya sakit.

Dalam pertemuan tim berikutnya, kata saksi, muncul ide sejumlah
sekenario untuk meredam teror Nasrudin antara lain mobilnya ditabrak orangnya dipukuli.”Ini ide siapa,” dari Pak Antasari, Jawabnya singkat. Selain itu, ada juga muncul kata-kata diamankan.
Maksudnya, kata itu bukan untuk menghabisi nyawa Nasrudin , tapi meghilangkan teror. “Yang benar menghentikan teror tidak ada untuk
membunuh,katanya.

Karenanya saksi mencabut keterangan dari berita acara
pemeriksaan soal kata tersebut. Sebab saat diperiksa dipenyidik
dirinya merasa tertekan.

Ditanya tim penasihat hukum terdakwa apakah ada rekontruksi adanya
foto di BAP tersebut,saksi mengaku tidak tahu. Menaggapi keterangan
tersebut Antasari menyangkalnya.